Friday, March 2, 2012

Encouragement

LIMA belas tahun lalu saya pernah mengajukan protes pada guru sebuah sekolah tempat anak saya belajar di Amerika Serikat.
    Masalahnya, karangan berbahasa Inggris yang ditulis anak saya seadanya itu telah diberi nilai E (excellence) yang artinya sempurna, hebat, bagus sekali. Padahal dia baru saja tiba di Amerika dan baru mulai belajar bahasa. Karangan yang dia tulis sehari sebelumnya itu pernah ditunjukkan kepada saya dan saya mencemaskan kemampuan verbalnya yang terbatas. Menurut saya tulisan itu buruk, logikanya sangat sederhana.
    Saya memintanya memperbaiki kembali, sampai dia menyerah. Rupanya karangan itulah yang diserahkan anak saya kepada gurunya dan bukan diberi nilai buruk, malah dipuji. Ada apa? Apa tidak salah memberi nilai? Bukankah pendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau begini saja sudah diberi nilai tinggi, saya khawatir anak saya cepat puas diri. Sewaktu saya protes, ibu guru yang menerima saya hanya bertanya singkat. “Maaf Bapak dari mana?” “Dari Indonesia,” jawab saya. Dia pun tersenyum.
Budaya Menghukum
    Pertemuan itu merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup saya. Itulah saat yang mengubah cara saya dalam mendidik dan membangun masyarakat. “Saya mengerti,” jawab ibu guru yang wajahnya mulai berkerut, namun tetap simpatik itu. “Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu dari Indonesia yang anak-anaknya dididik di sini,” lanjutnya. “Di negeri Anda, guru sangat sulit memberi nilai. Filosofi kami mendidik di sini bukan untuk menghukum, melainkan untuk merangsang orang agar maju. Encouragement!” Dia pun melanjutkan argumentasinya.
    “Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbeda-beda. Namun untuk anak sebesar itu, baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris, saya dapat menjamin, ini adalah karya yang hebat,” ujarnya menunjuk karangan berbahasa Inggris yang dibuat anak saya. Dari diskusi itu saya mendapat pelajaran berharga. Kita tidak dapat mengukur prestasi orang lain menurut ukuran kita. Saya teringat betapa mudahnya saya menyelesaikan study saya yang bergelimang nilai “A”, dari program master hingga doktor. Sementara di Indonesia, saya harus menyelesaikan studi jungkir balik ditengarai ancaman drop out dan para penguji yang siap menerkam. Saat ujian program doktor saya pun dapat melewatinya dengan mudah.
    Pertanyaan mereka memang sangat serius dan membuat saya harus benar-benar siap. Namun suasana ujian dibuat sangat bersahabat. Seorang penguji bertanya dan penguji yang lain tidak ikut menekan, melainkan ikut membantu memberikan jalan begitu mereka tahu jawabannya. Mereka menunjukkan grafik-grafik yang saya buat dan menerangkan seterang-terangnya sehingga kami makin mengerti. Ujian penuh puja-puji, menanyakan ihwal masa depan dan mendiskusikan kekurangan penuh keterbukaan. Pada saat kembali ke Tanah Air, banyak hal sebaliknya sering saya saksikan. Para pengajar bukan saling menolong, malah ikut “menelan” mahasiswanya yang duduk di bangku ujian.
    Ketika seseorang penguji atau promotor membela atau meluruskan pertanyaan, penguji marah-marah, tersinggung, dan menyebarkan berita tidak sedap seakanakan kebaikan itu ada udang di balik batunya. Saya sempat mengalami frustrasi yang luar biasa menyaksikan bagaimana para dosen menguji, yang maaf, menurut hemat saya sangat tidak manusiawi. Mereka bukan melakukan encouragement, melainkan discouragement. Hasilnya pun bisa diduga, kelulusan rendah dan yang diluluskan pun kualitasnya tidak hebat-hebat betul. Orang yang tertekan ternyata belakangan saya temukan juga menguji dengan cara menekan.
    Ada semacam balas dendam dan kecurigaan. Saya ingat betul bagaimana guru-guru di Amerika memajukan anak didiknya. Saya berpikir pantaslah anak-anak di sana mampu menjadi penulis karya-karya ilmiah yang hebat, bahkan penerima Hadiah Nobel. Bukan karena mereka punya guru yang pintar secara akademis, melainkan karakternya sangat kuat: karakter yang membangun, bukan merusak. Kembali ke pengalaman anak saya di atas, ibu guru mengingatkan saya. “Janganlah kita mengukur kualitas anak-anak kita dengan kemampuan kita yang sudah jauh di depan,” ujarnya dengan penuh kesungguhan. Saya juga teringat dengan rapor anak-anak di Amerika yang ditulis dalam bentuk verbal.
    Anak-anak Indonesia yang baru tiba umumnya mengalami kesulitan, namun rapornya tidak diberi nilai merah, melainkan diberi kalimat yang mendorongnya untuk bekerja lebih keras, seperti berikut. “Sarah telah memulainya dengan berat, dia mencobanya dengan sungguh-sungguh. Namun Sarah telah menunjukkan kemajuan yang berarti.” Malam itu saya mendatangi anak saya yang tengah tertidur dan mengecup keningnya. Saya ingin memeluknya di tengah-tengah rasa salah telah memberi penilaian yang tidak objektif. Dia pernah protes saat menerima nilai E yang berarti excellent (sempurna), tetapi saya mengatakan “gurunya salah”. Kini saya melihatnya dengan kacamata yang berbeda.
Melahirkan   Kehebatan
    Bisakah kita mencetak orang-orang hebat dengan cara menciptakan hambatan dan rasa takut? Bukan tidak mustahil kita adalah generasi yang dibentuk oleh sejuta ancaman: gesper, rotan pemukul, tangan bercincin batu akik, kapur, dan penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh guru, sundutan rokok, dan seterusnya. Kita dibesarkan dengan seribu satu kata-kata ancaman: Awas...; Kalau,...; Nanti,...; dan tentu saja tulisan berwarna merah menyala di atas kertas ujian dan rapor di sekolah.
    Sekolah yang membuat kita tidak nyaman mungkin telah membuat kita menjadi lebih disiplin. Namun di lain pihak dia juga bisa mematikan inisiatif dan mengendurkan semangat. Temuan-temuan baru dalam ilmu otak ternyata menunjukkan otak manusia tidak statis, melainkan dapat mengerucut (mengecil) atau sebaliknya, dapat tumbuh. Semua itu sangat tergantung dari ancaman atau dukungan (dorongan) yang didapat dari orang-orang di sekitarnya. Dengan demikian kecerdasan manusia dapat tumbuh, sebaliknya dapat menurun. Seperti yang sering saya katakan, ada orang pintar dan ada orang yang kurang pintar atau bodoh.
    Tetapi juga ada orang yang tambah pintar dan ada orang yang tambah bodoh. Mari kita renungkan dan mulailah mendorong kemajuan, bukan menaburkan ancaman atau ketakutan. Bantulah orang lain untuk maju, bukan dengan menghina atau memberi ancaman yang menakut-nakuti. (Rhenald Kasali, Sindo 15 Juli 2010)

Tuesday, February 28, 2012

ETOS KERJA


Beberapa Pengertian tentang Etos kerja
  1. Keyakinan yang berfungsi sebagai panduan tingkah laku bagi seseorang, sekelompok orang atau sebuah institusi.
  2. Etos Kerja merupakan perilaku khas suatu komunitas atau organisasi, mencangkup motivasi yang menggerakkan, karakteristik utama, spirit dasar, pikiran dasar, kode etik, kode moral, kode perilaku,sikap-sikap, aspirasiaspirasi, keyakinan-keyakinan, prinsip-prinsip, standar-standar.
  3. Sehimpunan perilaku positif yang lahir sebagai buah keyakinan fundamental dan komitmen total pada sehimpunan paradigma kerja yang integral.

“ 8 ETOS KERJA menurut JANSEN H SINAMO ”
  1. Kerja adalah Rahmat bekerja tulus penuh syukur.
  2. Kerja adalah Amanah bekerja benar penuh tanggung jawab
  3. Kerja adalah Panggilan bekerja tuntas penuh integritas.
  4. Kerja adalah Aktualisasi bekerja keras penuh semangat.
  5. Kerja adalah Ibadah bekerja serius penuh kecintaan.
  6. Kerja adalah Seni bekerja cerdas penuh kreativitas.
  7. Kerja adalah Kehormatan bekerja tekun penuh keunggulan.
  8. Kerja adalah Pelayanan bekerja paripurna penuh kerendahan hati.

Sifat-sifat yang mencerminkan etos kerja yang baik yaitu :
  • Aktif.
  • Ceria.
  • Dinamis.Disiplin.
  • Efektif.
  • Efisien.
  • Energik.
  • Fokus.
  • Gesit.
  • Ikhlas.
  • Interaktif.
  • Jeli.
  • Jujur.
  • Kerja Keras.
  • Kerja Tim.
  • Konsisten.
  • Kreatif.
  • Lapang Dada.
  • Membagi.
  • Menghargai.
  • Menghibur.
  • Optimis.
  • Peka.
  • Rajin.
  • Ramah.
  • Sabar.
  • Semangat.
  • Tanggung Jawab.
  • Tekun.
  • Teliti.
  • Tepat Waktu.
  • Teratur.
  • Terkendali.
  • Toleran.
  • Total.
  • Ulet.

Monday, February 27, 2012

PENDIDIKAN YANG MENJADI BOOMERANG.


Seorang teman saya yang bekerja pada sebuah perusahaan asing, di PHK akhir tahun lalu. Penyebabnya adalah kesalahan menerapkan dosis pengolahan limbah, yang telah berlangsung bertahun-tahun. Kesalahan ini terkuak ketika seorang pakar limbah dari suatu negara Eropa mengawasi secara langsung proses pengolahan limbah yang selama itu dianggap selalu gagal.

Pasalnya adalah, takaran timbang yang dipakai dalam buku petunjuknya menggunakan satuan pound dan ounce. Kesalahan fatal muncul karena yang bersangkutan mengartikan 1 pound = 0,5 kg. dan 1 ounce (ons) = 100 gram, sesuai pelajaran yang ia terima dari sekolah. Sebelum PHK dijatuhkan, teman saya diberi tenggang waktu 7 hari untuk membela diri dgn. cara menunjukkan acuan ilmiah yang menyatakan 1 ounce (ons) = 100g.

Usaha maksimum yang dilakukan hanya bisa menunjukkan Kamus Besar Bahasa Indonesia yang mengartikan ons (bukan ditulis ounce) adalah satuan berat senilai 1/10 kilogram. Acuan lain termasuk tabel-tabel konversi yang berlaku sah atau dikenal secara internasional tidak bisa ditemukan.

SALAH KAPRAH YANG TURUN TEMURUN.

Prihatin dan penasaran atas kasus diatas, saya mencoba menanyakan hal ini kepada lembaga yang paling berwenang atas sistem takar-timbang dan ukur di Indonesia, yaitu Direktorat Metrologi. Ternyata, pihak  Direktorat  Metrologi-pun telah lama melarang pemakaian satuan ons untuk ekivalen 100 gram.

Mereka justru mengharuskan pemakaian satuan yang termasuk dalam Sistem Internasional (metrik) yang diberlakukan resmi di Indonesia. Untuk ukuran berat, satuannya adalah gram dan kelipatannya. Satuan Ons bukanlah bagian dari sistem metrik ini dan untuk menghilangkan kebiasaan memakai satuan ons ini, Direktorat Metrologi sejak lama telah memusnahkan semua anak timbangan (bandul atau timbal) yang bertulisan ons dan pound.

Lepas dari adanya kebiasaan kita mengatakan 1 ons = 100 gram dan 1 pound = 500 gram, ternyata tidak pernah ada acuan sistem takar-timbang legal atau pengakuan internasional atas satuan ons yang nilainya setara dengan 100 gram. Dan dalam sistem timbangan legal yang diakui dunia internasional, tidak pernah dikenal adanya satuan ONS khusus Indonesia. Jadi, hal ini adalah suatu kesalahan yang diwariskan turun-temurun. Sampai kapan mau dipertahankan ?

BAGAIMANA KESALAHAN DIAJARKAN SECARA RESMI ?

Saya sendiri pernah menerima pengajaran salah ini ketika masih di bangku sekolah dasar. Namun, ketika saya memasuki dunia kerja nyata, kebiasaan salah yang nyata-nyata diajarkan itu harus dibuang jauh karena
akan menyesatkan.

Beberapa sekolah telah saya datangi untuk melihat sejauh mana penyadaran akan penggunaan sistem takar-timbang yang benar dan sah dikemas dalam materi pelajaran secara benar, dan bagaimana para murid (anak-anak kita) menerapkan dalam hidup sehari-hari. Sungguh memprihatinkan. Semua sekolah mengajarkan bahwa 1 ons = 100 gram dan 1 pound = 500 gram, dan anak-anak kita pun menggunakannya dalam kegiatan sehari-hari. Hal ini sudah tertanam didalam otak anak kita sejak usia dini.

Dari para guru, saya mendapatkan penjelasan bahwa semua buku pegangan yang diwajibkan atau disarankan oleh Departemen Pendidikan Indonesia mengajarkan seperti itu. Karena itu, tidaklah mungkin bagi para guru untuk melakukan koreksi selama Dep. Pendidikan belum merubah atau memberikan petunjuk resmi.

TANGGUNG JAWAB SIAPA ?

Maka, bila terjadi kasus-kasus serupa diatas, Departemen Pendidikan kita jangan lepas tangan. Tunjukkanlah kepada masyarakat kita terutama kepada para guru yang mengajarkan kesalahan ini, salah satu alasannya agar tidak menjadi beban psikologis bagi mereka acuan sistem timbang legal yang mana yang pernah diakui / diberlakukan secara internasional, yang menyatakan bahwa :

1 ons adalah 100 gram, 1 pound adalah 500 gram.

Kalau Department Pendidikan tidak bisa menunjukkan acuannya, mengapa hal ini diajarkan secara resmi di sekolah sampai sekarang ? Pernahkan Dep. Pendidikan menelusuri, dinegara mana saja selain Indonesia berlaku konversi 1 ons = 100 gram dan 1 pound = 500 gram ?

Patut dipertanyakan pula, bagaimana tanggung jawab para penerbit buku pegangan sekolah yang melestarikan kesalahan ini ?

Kalau Dep. Pendidikan mau mempertahankan satuan ons yang keliru ini, sementara pemerintah sendiri melalui Direktorat Metrologi melarang pemakaian satuan ons dalam transaksi legal, maka konsekwensinya ialah harus dibuat sistem baru timbangan Indonesia (versi Depdiknas). Sistem baru inipun harus diakui lebih dulu oleh dunia internasional sebelum diajarkan kepada anak-anak. Perlukah adanya sistem timbangan Indonesia yang konversinya adalah 1 ons (Depdiknas) = 100 gram dan 1 pound (Depdiknas) = 500 gram. ? Bagaimana Ons dan Pound (Depdiknas) ini dimasukkan dalam sistem metrik yang sudah baku diseluruh dunia ? Siapa yang mau pakai ?.

HENTIKAN SEGERA KESALAHAN INI.

Contoh kasus diatas hanyalah satu diantara sekian banyak problema yang merupakan akibat atau korban kesalahan pendidikan. Saya yakin masih banyak kasus-kasus senada yang terjadi, tetapi tidak kita dengar. Salah satu contoh kecil ialah, banyak sekali ibu-ibu yang mempraktekkan resep kue dari buku luar negeri tidak berhasil tanpa diketahui dimana kesalahannya.

Karena ini kesalahan pendidikan, masalah ini sebenarnya merupakan masalah nasional pendidikan kita yang mau tidak mau harus segera dihentikan.

Departemen Pendidikan tidak perlu malu dan basa-basi diplomatis mengenai hal ini. Mari kita pikirkan dampaknya bagi masa depan anak-anak Indonesia. Berikan teladan kepada bangsa ini untuk tidak malu memperbaiki kesalahan.

Sekalipun hanya untuk pelajaran di sekolah, dalam hal Takar-Timbang-Ukur, Department Pendidikan tidak memiliki supremasi sedikitpun terhadap Direktorat Metrologi sebagai lembaga yang paling berwenang di Indonesia. Mari kita ikuti satu acuan saja, yaitu Direktorat Metrologi.

Era Globalisasi tidak mungkin kita hindari, dan karena itu anak-anak kita harus dipersiapkan dengan benar. Benar dalam arti landasannya, prosesnya, materinya maupun arah pendidikannya. Mengejar ketertinggalan
dalam hal kualitas SDM negara tetangga saja sudah merupakan upaya yang sangat berat.

Janganlah malah diperberat dengan pelajaran sampah yang justru bakal menyesatkan. Didiklah anak-anak kita untuk mengenal dan mengikuti aturan dan standar yang berlaku SAH dan DIAKUI secara internasional, bukan hanya yang rekayasa lokal saja. Jangan ada lagi korban akibat pendidikan yang salah. Kita lihat yang nyata saja, berapa banyak TKI diluar negeri yang berarti harus mengikuti acuan yang berlaku secara internasional.

Anak-anak kita memiliki HAK untuk mendapatkan pendidikan yang benar sebagai upaya mempersiapkan diri menyongsong masa depannya yang akan penuh dengan tantangan berat.

ACUAN MANA YANG BENAR ?

Banyak sekali literatur, khususnya yang dipakai dalam dunia tehnik, dan juga ensiklopedi ternama seperti Britannica, Oxford, dll. (maaf, ini bukan promosi) menyajikan tabel-tabel konversi yang tidak perlu diragukan lagi.

Selain pada buku literatur, tabel-tabel konversi semacam itu dapat dijumpai dengan mudah di-dalam buku harian / diary/agenda yang biasanya diberikan oleh toko atau produsen suatu produk sebagai sarana promosi.

Salah satu konversi untuk satuan berat yang umum dipakai SAH secara internasional adalah sistem avoirdupois / avdp. (baca : averdupoiz).

1 ounce/ons/onza = 28,35 gram (bukan 100 g.)
1 pound = 453 gram (bukan 500 g.)
1 pound = 16 ounce (bukan 5 ons)

Bayangkan saja, bagaimana jadinya kalau seorang apoteker meracik resep obat yang seharusnya hanya diberi 28 gram, namun diberi 100 gram. Apakah kesalahan semacam ini bisa di kategorikan sebagai mal praktek ?
Pelajarannya memang begitu, kalau murid tidak mengerti, dihukum !!!
Jadi, kalau malapraktik, logikanya adalah tanggung jawab yang mengajarkan. (ini hanya gambaran / ilustrasi salah satu akibat yang bisa ditimbulkan, bukan kejadian sebenarnya, tetapi dalam bidang lain banyak sekali terjadi)

KALAU BUKAN KITA YANG MENYELAMATKAN - LALU SIAPA ?.

Melalui tulisan ini saya ingin mengajak semua kalangan, baik kalangan pemerintah, akademis, profesi, bisnis / pedagang, sekolah dan orang tua dan juga yang lainnya untuk ikut serta mendukung penghapusan satuan ons
dan pound yang keliru" dari kegiatan kita sehari-hari. Pengajaran sistem timbang dengan satuan Ounce dan Pound seharusnya diberikan sebagai pengetahuan disertai kejelasan asal-usul serta rumus konversi yang
benar. Hal ini untuk membuang kebiasaan salah yang telah melekat dalam kebiasaan kita, yang bisa mencelakakan / menyesatkan anak-anak kita, generasi penerus bangsa ini.

dikutif dari tulisannya Yoppy Martha Aditya

Sunday, February 26, 2012

Sakit Kepala Sebelah



Sebagian kepala sering berdenyut  ketika melihat cahaya, sehabis mengonsumsi makanan yang mengandung  penyedap rasa atau menjelang  menstruasi ? hati-hati itu pertanda migraine
Sakit kepala sebagaian (disamping kiri, kanan atau depan kepala) alias migraine  memang bikin  nggak nyaman. Jangankan  mau beraktivitas , diam saja  kepala rasanya seperti ditusuk-tusuk jarum. Parahnya, sakit nya ngaa Cuma 5 menit atau 10 menit tapi bisa bertahan sampai 72 jam !
Dan yang sering kali jadi masalah,  migraine  biasanya  menyerang  dipagi hari , saat kita sedang sibuk  beraktivitas  atau waktunya  istirahat di malam hari. Tidak heran pada saat di serang migraine penderitanya sering atau cenderung lebih emosional dan sensitive. Kalau sudah seperti ini  jangan nekat mengusik mereka.
MISTERI MIGRAIN
Meskipun sudah ada sejak 3000 tahun sebelum masehi, ternyata para ahli  medis  dan peneliti menganggap kalau penyebab migraine masih misteri.
Walaupun ada beberapa teori  yang menyebutkan kalau penyakit ini disebabkan adanya gangguan neurotransmitter atau zat kimia otak. Gangguan inilah yang  menyebabkan ketidakseimbangan pembuluh darah. Tapi sekali lagi. Pernyatan ini masih sebatas teori.
Yang pasti migraine lebih banyak dialami oleh perempuan, sekitar 70 persen  atau tiga kali lebih tinggi resiko nya dari pada laki-laki, menurut penelitian, penyakit ini memang bisa disebabkan oleh pengaruh hormonal. Sehingga tidak jarang  menjelang menstruasi , serangan ini suka muncul . migraine juga sering  dialami perempuan ketika memasuki masa menepuose.
Tidak seperti vertigo atau sakit kepala lainnya, pada setiap orang  penyebab migrain bisa berbeda-beda. Ada yang sangat peka terhadap cahaya, namun pada penderita lainya serangan muncul setelah mengonsumsi minuman mengandung kafein atau saat stress. Selain itu masih banyak  penyebab lainnya  seperti trauma di kepala, gangguan pembuluh darah,  tumor atau kelainan pada organ  lainnya  seperti mata.
Kebiasaan-kebiasaan yang kurang baik pun sering kali bisa menjadi pemicu sakit kepala, khususnya migraine misalnya tidur terlalu lama, jarang berolahraga, sering begadang atau terbiasa mengonsumsi makanan yang diwetkan serta tinggi  lemak. Kalau kebiasaan ini tidak di ubah bukan Cuma migraine, gangguan jantung,  atau stroke akan mengancam kesehatan kita.
BISA DIATASI
Sakit kepala sebelah ini memiliki empat fase prodrome, sekitar 50 persen penderita migraine mengalami fase yang satu ini. Gejala dimulai dari yang ringan  dan meningkat perlahan-lahan, bahkan bisa sampai 24 jam.
Bisa dibilang ini merupakan gejala awal serangan migraine. Namun kebanyakan orang menganggap gejala ini sebagai sakit kepala biasa. Fase berikutnya adalah aura, biasanya  sebelum  mendpatkan serangan migraine , penderita seperti melihat cahaya. Walaupun biasanya sakit kepala nggak lama, sekitar 5-60 menit, tetap saja menyakitkan, tapi tidak semua penderita migrain mengalami fase ini.
Fase lainnya adalah sakit kepala, tapi bukan sakit kepala biasa. Namun sakit yang cukup menyiksa  dan biasanya disertai mual, muntah, peka terhadap suara dan cahaya . dan fase  terakhir adalah postdrome, ketika migraine mereda. Biasanya penderita mengalami kelelahan dan nyeri sendi.
Tapi ada juga penderita yang merasa bahagia dan senang begitu sakit kepala tersebut hilang. Meskipun datang sesekali, migraine tetap saja menggangu. Tapi ada beberapa terapi yang bisa kita lakukan. Cara paling gampang dan bisa kita lakukan sendiri adalah dengan  mengidentifikasi factor pencetusnya dan menghindarinya. Kalau sejak dini  kita sudah  menyadarinya, kita bakal terhindar dari serangan migraine.
Kalau migraine dalam tahap ringan ataua sedang namun belum mengetahui pencetusnya, kita bisa melakukan terapi obat-obatan. Ketika ada gejala migraine kita bisa mengonsumsi obat-obatan penghilang rasa sakit dengan dosis yang dijual dipasaran. Namun sebelum mengonsumsinya, sebaiknya berkonsultasilah kepada dokter  anda terlebih dahulu.
Apalagi kalau  kita memiliki  gangguan tubuh  lainnya, terutama tekanan darah  tinggi atau angina pectoris (nyeri dada). Selain itu ada terapi jangka panjang. Terapi  ini dilakukan  untuk mencegah  serangan  ulang danmenurunkan frekuensi seangan. Meskipun butuh waktu. Hasilnya cukup signifikan. Dari serangan tujuh kali sebulan, bisa jadi dua kali sebulan. Tentunya terapi ini bisa berhasil kalau diikuti pola hidup sehat.

SAATNYA KONSULTASI DOKTER
 Walaupun bisa diatasi tidak jarang sakit kepala merupakan indicator adanya penyakit lain dalam tubuh. Misalnya radang sinus, sakit gigi, atau gangguan system pencernaan. Bisa juga sebagai pertanda bagi kita yang berkacamata, untuk mengganti kacamata  karena ukuran minus atau plus kita bertambah.
Biar lebih pasti, sebaiknya konsultasikan pada dokter. Khususnya bagian saraf. Penelitian dengan CT scan bisa membantu meneliti penyebab utamanya.
Memang tidak seperti gigi yang harus diperiksa secara berkala, enam bulan sekali. Pemeriksaan kepala tidak ada aturannya. Namun begitu sakit kepala disertai dengan gejala gejala lain, sebiknya segera lakukan pemeriksaan. Karena kita tidak tahu apa yang akan terjadi di dalam kepala kita.
Mungkin saja ada pembengkakan pada pembuluh darah. Kalau tidak cepat ditangani bisa saja terjadi pendarahan. Pemeriksan kepala memang sangat penting karena merupakan salah satu organ yang sangat vital. Dengan mengeluarkan uang sebesar Rp 500 ribu akan sangat berarti dibandingkan dampak yang bisa ditimbulkan.
dikutip dari: http://pusatmedis.com/sakit-kepala-sebelah_57