LIMA belas tahun lalu saya pernah
mengajukan protes pada guru sebuah sekolah tempat anak saya belajar di Amerika
Serikat.
Masalahnya, karangan berbahasa Inggris yang
ditulis anak saya seadanya itu telah diberi nilai E (excellence) yang artinya
sempurna, hebat, bagus sekali. Padahal dia baru saja tiba di Amerika dan baru
mulai belajar bahasa. Karangan yang dia tulis sehari sebelumnya itu pernah
ditunjukkan kepada saya dan saya mencemaskan kemampuan verbalnya yang terbatas.
Menurut saya tulisan itu buruk, logikanya sangat sederhana.
Saya memintanya memperbaiki kembali, sampai
dia menyerah. Rupanya karangan itulah yang diserahkan anak saya kepada gurunya
dan bukan diberi nilai buruk, malah dipuji. Ada apa? Apa tidak salah memberi
nilai? Bukankah pendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau begini saja sudah
diberi nilai tinggi, saya khawatir anak saya cepat puas diri. Sewaktu saya
protes, ibu guru yang menerima saya hanya bertanya singkat. “Maaf Bapak dari mana?”
“Dari Indonesia,” jawab saya. Dia pun tersenyum.
Budaya Menghukum
Pertemuan itu merupakan sebuah titik balik
yang penting bagi hidup saya. Itulah saat yang mengubah cara saya dalam
mendidik dan membangun masyarakat. “Saya mengerti,” jawab ibu guru yang
wajahnya mulai berkerut, namun tetap simpatik itu. “Beberapa kali saya bertemu
ayah-ibu dari Indonesia yang anak-anaknya dididik di sini,” lanjutnya. “Di
negeri Anda, guru sangat sulit memberi nilai. Filosofi kami mendidik di sini
bukan untuk menghukum, melainkan untuk merangsang orang agar maju.
Encouragement!” Dia pun melanjutkan argumentasinya.
“Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak
berbeda-beda. Namun untuk anak sebesar itu, baru tiba dari negara yang bahasa
ibunya bukan bahasa Inggris, saya dapat menjamin, ini adalah karya yang hebat,”
ujarnya menunjuk karangan berbahasa Inggris yang dibuat anak saya. Dari diskusi
itu saya mendapat pelajaran berharga. Kita tidak dapat mengukur prestasi orang
lain menurut ukuran kita. Saya teringat betapa mudahnya saya menyelesaikan
study saya yang bergelimang nilai “A”, dari program master hingga doktor.
Sementara di Indonesia, saya harus menyelesaikan studi jungkir balik ditengarai
ancaman drop out dan para penguji yang siap menerkam. Saat ujian program doktor
saya pun dapat melewatinya dengan mudah.
Pertanyaan mereka memang sangat serius dan
membuat saya harus benar-benar siap. Namun suasana ujian dibuat sangat
bersahabat. Seorang penguji bertanya dan penguji yang lain tidak ikut menekan,
melainkan ikut membantu memberikan jalan begitu mereka tahu jawabannya. Mereka
menunjukkan grafik-grafik yang saya buat dan menerangkan seterang-terangnya
sehingga kami makin mengerti. Ujian penuh puja-puji, menanyakan ihwal masa
depan dan mendiskusikan kekurangan penuh keterbukaan. Pada saat kembali ke
Tanah Air, banyak hal sebaliknya sering saya saksikan. Para pengajar bukan
saling menolong, malah ikut “menelan” mahasiswanya yang duduk di bangku ujian.
Ketika seseorang penguji atau promotor
membela atau meluruskan pertanyaan, penguji marah-marah, tersinggung, dan
menyebarkan berita tidak sedap seakanakan kebaikan itu ada udang di balik
batunya. Saya sempat mengalami frustrasi yang luar biasa menyaksikan bagaimana
para dosen menguji, yang maaf, menurut hemat saya sangat tidak manusiawi.
Mereka bukan melakukan encouragement, melainkan discouragement. Hasilnya pun
bisa diduga, kelulusan rendah dan yang diluluskan pun kualitasnya tidak
hebat-hebat betul. Orang yang tertekan ternyata belakangan saya temukan juga
menguji dengan cara menekan.
Ada semacam balas dendam dan kecurigaan.
Saya ingat betul bagaimana guru-guru di Amerika memajukan anak didiknya. Saya
berpikir pantaslah anak-anak di sana mampu menjadi penulis karya-karya ilmiah
yang hebat, bahkan penerima Hadiah Nobel. Bukan karena mereka punya guru yang
pintar secara akademis, melainkan karakternya sangat kuat: karakter yang
membangun, bukan merusak. Kembali ke pengalaman anak saya di atas, ibu guru
mengingatkan saya. “Janganlah kita mengukur kualitas anak-anak kita dengan
kemampuan kita yang sudah jauh di depan,” ujarnya dengan penuh kesungguhan.
Saya juga teringat dengan rapor anak-anak di Amerika yang ditulis dalam bentuk
verbal.
Anak-anak Indonesia yang baru tiba umumnya
mengalami kesulitan, namun rapornya tidak diberi nilai merah, melainkan diberi
kalimat yang mendorongnya untuk bekerja lebih keras, seperti berikut. “Sarah
telah memulainya dengan berat, dia mencobanya dengan sungguh-sungguh. Namun
Sarah telah menunjukkan kemajuan yang berarti.” Malam itu saya mendatangi anak
saya yang tengah tertidur dan mengecup keningnya. Saya ingin memeluknya di
tengah-tengah rasa salah telah memberi penilaian yang tidak objektif. Dia
pernah protes saat menerima nilai E yang berarti excellent (sempurna), tetapi
saya mengatakan “gurunya salah”. Kini saya melihatnya dengan kacamata yang
berbeda.
Melahirkan Kehebatan
Bisakah kita mencetak orang-orang hebat
dengan cara menciptakan hambatan dan rasa takut? Bukan tidak mustahil kita
adalah generasi yang dibentuk oleh sejuta ancaman: gesper, rotan pemukul,
tangan bercincin batu akik, kapur, dan penghapus yang dilontarkan dengan keras
oleh guru, sundutan rokok, dan seterusnya. Kita dibesarkan dengan seribu satu
kata-kata ancaman: Awas...; Kalau,...; Nanti,...; dan tentu saja tulisan
berwarna merah menyala di atas kertas ujian dan rapor di sekolah.
Sekolah yang membuat kita tidak nyaman
mungkin telah membuat kita menjadi lebih disiplin. Namun di lain pihak dia juga
bisa mematikan inisiatif dan mengendurkan semangat. Temuan-temuan baru dalam
ilmu otak ternyata menunjukkan otak manusia tidak statis, melainkan dapat
mengerucut (mengecil) atau sebaliknya, dapat tumbuh. Semua itu sangat
tergantung dari ancaman atau dukungan (dorongan) yang didapat dari orang-orang
di sekitarnya. Dengan demikian kecerdasan manusia dapat tumbuh, sebaliknya
dapat menurun. Seperti yang sering saya katakan, ada orang pintar dan ada orang
yang kurang pintar atau bodoh.
Tetapi juga ada orang yang tambah pintar
dan ada orang yang tambah bodoh. Mari kita renungkan dan mulailah mendorong
kemajuan, bukan menaburkan ancaman atau ketakutan. Bantulah orang lain untuk
maju, bukan dengan menghina atau memberi ancaman yang menakut-nakuti. (Rhenald
Kasali, Sindo 15 Juli 2010)